Senin, 09 Desember 2013

Still Loving You (cerpen)


Malam telah menggantikan senja yang indah. Suara jangkrik dan angin dingin pertanda malam pun mulai larut. Namun ada saja hal yang mengurungkan niatku untuk masuk ke dalam rumah. Ya seperti biasa, dengan laptop dan segelas kopi susu di sampingnya, cukup membuatku tenggelam dalam sebuah chating sederhana bersama Rasti, kekasihku yang dulu. Aku mengenalnya sejak kelas  10 SMA melalui social media, facebook. Sekitar 4 bulan berjalan, mulai timbul perasaan yang mungkin bisa dibilang suka. Kejenuhan di sekolah, keluarga, teman, semua masalahku, hanya kepada Rasti aku terbuka untuk bercerita. Dengan berjalannya waktu, aku mulai merasa ada kenyamanan bisa berbincang dan bercerita walaupun belum pernah sekalipun aku bertatap muka dengannya. Aku dan Rasti selalu bertukar cerita dan berbagai pengalaman kesehariannya. 6 bulan berjalan, aku mengajaknya bertemu di sebuah mall karena kebetulan dia juga ingin bertemu denganku. Aku bertemu dengannya di sebuah toko buku kecil di dalam mall. Tidak ada rasa canggung atau sedikitpun malu ketika kami saling bertegur sapa. Tidak ada perasaan apapun kecuali bahagia dan tidak menyangka. Entah mengapa aku merasa seperti aku telah mengenal Rasti lebih lama sebelum kami berkenalan. Tidak ada niat sedikitpun bahwa aku akan menghindarinya setelah bertemu saat itu. Aku dan Rasti sibuk berbincang tentang apapun yang telah kami lewati selama 6 bulan ini walaupun hanya melalui facebook. Sekecil apapun itu masalahnya, bahkan setidak-pentingnya untuk dibicarakan, kami berbincang cukup lama dan semua itu terasa sangat menyenangkan. Waktu terasa begitu singkat ketika bersamanya. Kami pulang bersama dan aku mengantarnya pulang. Sungguh hari yang begitu menyenangkan dan begitu istimewa bagiku. Dia tersenyum dan melambaikan tangan setelah sampai di depan rumahnya. “hati-hati, Gilang.” Katanya. Sungguh gadis yang baik J
Dua minggu setelah aku dan Rasti bertemu, aku mengajaknya bertemu di tempat yang berbeda. Kali ini aku mengajaknya ke Kota Tua. Ia menyetujuinya dan aku lansung bersia-siap. Sungguh bahagia, aku selalu merasa nyaman ketika ada di dekatnya, dan aku rasa dia juga merasakan hal yang sama. Kami menaiki busway menuju tempat tujuan. Di sana Rasti terlihat begitu menikmati aneka jajanan jalanan, tertawa atas candaan sederhana yang kami buat, dan berjalan-jalan tanpa berhenti mengobrol. Di perjalanan, aku mengehentikan langkahku dan meraih jemarinya lembut. Aku menatap matanya tajam. Aku tidak mengerti apa yang sedang aku lakukuan, tetapi mulutku spontan berbicara “aku sayang kamu, Ras. Aku merasa nyaman jika bersamamu”. Tatapan Rasti berubah agak lembut, pipinya merah terlihat ia tersipu dengan ucapanku. “aku juga merasakan seperti itu, Lang. Aku juga menyayangimu” jawab Rasti kemudian. Kami saling tersenyum lalu tertawa tidak peduli orang-orang di sekitar kami. Aku menyimpulkan bahwa percakapan tadi adalah suatu keterikatan hati satu sama lain, begitu juga dengan Rasti. Begitu mengasyikkan sampai-sampai kami lupa waktu sudah hampir jam 5 sore. Aku mengantar Rasti melewati stasiun Jakarta yang masih agak ramai. Kami berbeda arah pulang, karena sudah hampir malam, aku tidak mengantarnya pulang. Di stasiun Jakarta tersebut, kami menuju arah pulang masing-masing.
Aku banyak menghabiskan waktuku bersama Rasti. 2 tahun lamanya hubungan kami tidak ada masalah. Aku semakin merasa nyaman bersamanya dan rasa sayangku kepadanya semakin bertambah. Begitu juga dengan Rasti. Dia yang memberiku semangat dan selalu siap mendengarkan keluh kesah tentangku. Tak ada alasan bagiku untuk berpaling darinya. Sebuah kecocokan, kesederhanaan, kenyamanan, dan kasih sayang ia berikan semata-mata melengkapi keburukan yang ada di antara kami.
Sampai suatu ketika, dimana waktu dan tempat yang harus memisahkan jarak antara aku dan Rasti. Dia mendapat beasiswa di Australia untuk melanjutkan perguruan tinggi negeri. Awalnya aku sempat kaget atas kabar tersebut. Tetapi Rasti meyakinkanku untuk tidak perlu khawatir. Aku hanya mengkhawatirkan hubungan yang telah kami bina lalu binasa begitu saja. Aku mengantar keberangkatannya di Bandara Soekarno-Hatta tepat jam 14.30. Nampak sedih raut wajah Rasti ketika menggenggam tanganku erat. Ia berkata bahwa ia akan kembali untukku. Matanya berkaca-kaca berusaha menatapku. Aku menguatkan tekatnya untuk pindah keluar negeri walaupun diriku belum sepenuhnya kuat melihatnya pergi. Itu terakhir kali aku  melihatnya, ia melangkahkan kakinya menuju Boarding room. Hanya satu yang ku ingat bahwa ia akan kembali...
Bertahun-tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya, namun perasaan ini masih utuh dan tidak berubah sedikitpun. Aku menanti kedatangannya, aku merindukan sosoknya. Tiada kabar yang bisa kulihat ataupun kudengar. Hingga suatu saat, aku berjalan sendirian di mall yang pernah kukunjungi bersama Rasti. Aku seperti melihat Rasti dari kejauhan. Setelah kudekati, itu benar Rasti. Aku tersentak bahwa Rasti tidak berjalan sendirian, tetapi bersama seorang lelaki seumuran denganku. Terlihat sekali kedekatannya dari cara ia menatap Rasti. Ingin rasanya aku mendekatinya, namun kuurungkan niatku agar aku tidak emosional. Setelah lelaki itu beranjak pergi, aku berlari mendekat kepada Rasti. “Rasti....” sapaku begitu berada di hadapannya. Rasti terlihat gugup, bahkan ia tak menjawab sapaannku. Aku menariknya menjauhi keramaian. Ia hanya menurut tanpa mengelak. Aku menatapnya tajam pertanda menginginkan penjelasan atas apa yang baru saja kulihat.  Tidak seperti dugaan, dia lantas memelukku erat sambil menangis tersedu. Aku hanya diam tanpa kata, tidak mengerti apa maksudnya. Setelah menangis, ia berdiri menghadapku dan berusaha mengatur nafasnya. “aku menyesal, Lang. Ku kira aku bisa merasakan kenyamanan dan kasih sayang yang sama sepertimu bersama orang lain. Tapi aku salah...” potongnya dengan suara masih tersendat. Aku masih terdiam. “Namanya Indra, aku mengenalnya waktu aku kuliah. Aku sangat kesepian tanpa ada kamu di dekatku. Dia yang menemaniku setiap hari, sampai-sampai dia memiliki perasaan lebih terhadapku. Aku tidak mengerti mengapa semua ini terjadi. Tapi, aku benar-benar menyesal. Aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya, tetapi aku tidak mengerti bagaimana caranya. Maafkan aku tidak sempat memberimu kabar. Maafkan aku telah meninggalkanmu. Aku menyayangimu, Gilang. Aku sangat merindukannmu...” lanjut Rasti dengan air mata mengalir di pipinya. Aku terpaku mengdengar semua penjelasan dari mulut Rasti. Sempat kecewa, namun aku sadar tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Aku hanya terdiam tanpa bisa berkata-kata. Lalu Rasti kembali memelukku. Aku memejamkan mataku dan mengatur nafasku yang naik turun. Aku berusaha untuk tidak emosi. Aku pun tidak marah karena aku tau bahwa Rasti tidak memiliki perasaan yang sama dengan Indra. “kau hanya perlu bersabar. Segala sesuatu yang kau buat harus pula kau pertanggung jawabkan, Ras. Aku mengerti keadaanmu. Aku akan menunggumu karena aku percaya kau membutuhkanku, kau mencintaiku, dan aku kekasihmu” ucapku sambil menatap mata Rasti. “aku kembali Lang.. aku akan kembali kepadamu.. aku akan bersabar seperti yang kamu mau. Berjanjilah kepadaku. Aku mencintaimu, maafkan aku..” Rasti berkata dengan raut wajah penuh penyesalan. Aku sangat senang sekaligus sedih. Aku senang karena Rasti telah kembali, namun aku sedih karena ada orang lain di hubungan kami walaupun Rasti tidak memiliki perasaan yang sama dengan Indra dan ia berjanji untuk kembali kepadaku. “Rasti, aku minta jangan kau sakiti hati orang yang telah tulus menyayangimu, walaupun kau telah berbohong kepadaku, aku sudah memaafkannya. Rahasiakan aku di dalam cintamu. Namun kau juga harus pertanggung jawabkan perbuatanmu kepada Indra. Sabar ya, sayang...” ucapku sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Rasti. “terima kasih banyak, Lang.” 

( sebenernya ini cerita diambil dari kisah temen aku, tapi ngga semuanya hehe )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar