Malam telah menggantikan senja
yang indah. Suara jangkrik dan angin dingin pertanda malam pun mulai larut.
Namun ada saja hal yang mengurungkan niatku untuk masuk ke dalam rumah. Ya
seperti biasa, dengan laptop dan segelas kopi susu di sampingnya, cukup
membuatku tenggelam dalam sebuah chating sederhana bersama Rasti, kekasihku
yang dulu. Aku mengenalnya sejak kelas 10
SMA melalui social media, facebook. Sekitar 4 bulan berjalan, mulai timbul
perasaan yang mungkin bisa dibilang suka. Kejenuhan di sekolah, keluarga,
teman, semua masalahku, hanya kepada Rasti aku terbuka untuk bercerita. Dengan
berjalannya waktu, aku mulai merasa ada kenyamanan bisa berbincang dan
bercerita walaupun belum pernah sekalipun aku bertatap muka dengannya. Aku dan
Rasti selalu bertukar cerita dan berbagai pengalaman kesehariannya. 6 bulan
berjalan, aku mengajaknya bertemu di sebuah mall karena kebetulan dia juga
ingin bertemu denganku. Aku bertemu dengannya di sebuah toko buku kecil di
dalam mall. Tidak ada rasa canggung atau sedikitpun malu ketika kami saling
bertegur sapa. Tidak ada perasaan apapun kecuali bahagia dan tidak menyangka.
Entah mengapa aku merasa seperti aku telah mengenal Rasti lebih lama sebelum
kami berkenalan. Tidak ada niat sedikitpun bahwa aku akan menghindarinya
setelah bertemu saat itu. Aku dan Rasti sibuk berbincang tentang apapun yang
telah kami lewati selama 6 bulan ini walaupun hanya melalui facebook. Sekecil
apapun itu masalahnya, bahkan setidak-pentingnya untuk dibicarakan, kami
berbincang cukup lama dan semua itu terasa sangat menyenangkan. Waktu terasa
begitu singkat ketika bersamanya. Kami pulang bersama dan aku mengantarnya
pulang. Sungguh hari yang begitu menyenangkan dan begitu istimewa bagiku. Dia
tersenyum dan melambaikan tangan setelah sampai di depan rumahnya. “hati-hati,
Gilang.” Katanya. Sungguh gadis yang baik J
Dua minggu setelah aku dan Rasti
bertemu, aku mengajaknya bertemu di tempat yang berbeda. Kali ini aku
mengajaknya ke Kota Tua. Ia menyetujuinya dan aku lansung bersia-siap. Sungguh
bahagia, aku selalu merasa nyaman ketika ada di dekatnya, dan aku rasa dia juga
merasakan hal yang sama. Kami menaiki busway menuju tempat tujuan. Di sana
Rasti terlihat begitu menikmati aneka jajanan jalanan, tertawa atas candaan
sederhana yang kami buat, dan berjalan-jalan tanpa berhenti mengobrol. Di
perjalanan, aku mengehentikan langkahku dan meraih jemarinya lembut. Aku
menatap matanya tajam. Aku tidak mengerti apa yang sedang aku lakukuan, tetapi
mulutku spontan berbicara “aku sayang kamu, Ras. Aku merasa nyaman jika
bersamamu”. Tatapan Rasti berubah agak lembut, pipinya merah terlihat ia
tersipu dengan ucapanku. “aku juga merasakan seperti itu, Lang. Aku juga
menyayangimu” jawab Rasti kemudian. Kami saling tersenyum lalu tertawa tidak
peduli orang-orang di sekitar kami. Aku menyimpulkan bahwa percakapan tadi
adalah suatu keterikatan hati satu sama lain, begitu juga dengan Rasti. Begitu
mengasyikkan sampai-sampai kami lupa waktu sudah hampir jam 5 sore. Aku
mengantar Rasti melewati stasiun Jakarta yang masih agak ramai. Kami berbeda
arah pulang, karena sudah hampir malam, aku tidak mengantarnya pulang. Di
stasiun Jakarta tersebut, kami menuju arah pulang masing-masing.
Aku banyak menghabiskan waktuku
bersama Rasti. 2 tahun lamanya hubungan kami tidak ada masalah. Aku semakin
merasa nyaman bersamanya dan rasa sayangku kepadanya semakin bertambah. Begitu
juga dengan Rasti. Dia yang memberiku semangat dan selalu siap mendengarkan
keluh kesah tentangku. Tak ada alasan bagiku untuk berpaling darinya. Sebuah
kecocokan, kesederhanaan, kenyamanan, dan kasih sayang ia berikan semata-mata
melengkapi keburukan yang ada di antara kami.
Sampai suatu ketika, dimana waktu
dan tempat yang harus memisahkan jarak antara aku dan Rasti. Dia mendapat
beasiswa di Australia untuk melanjutkan perguruan tinggi negeri. Awalnya aku
sempat kaget atas kabar tersebut. Tetapi Rasti meyakinkanku untuk tidak perlu
khawatir. Aku hanya mengkhawatirkan hubungan yang telah kami bina lalu binasa
begitu saja. Aku mengantar keberangkatannya di Bandara Soekarno-Hatta tepat jam
14.30. Nampak sedih raut wajah Rasti ketika menggenggam tanganku erat. Ia
berkata bahwa ia akan kembali untukku. Matanya berkaca-kaca berusaha menatapku.
Aku menguatkan tekatnya untuk pindah keluar negeri walaupun diriku belum
sepenuhnya kuat melihatnya pergi. Itu terakhir kali aku melihatnya, ia melangkahkan kakinya menuju
Boarding room. Hanya satu yang ku ingat bahwa ia akan kembali...
Bertahun-tahun lamanya aku tidak
bertemu dengannya, namun perasaan ini masih utuh dan tidak berubah sedikitpun.
Aku menanti kedatangannya, aku merindukan sosoknya. Tiada kabar yang bisa
kulihat ataupun kudengar. Hingga suatu saat, aku berjalan sendirian di mall
yang pernah kukunjungi bersama Rasti. Aku seperti melihat Rasti dari kejauhan.
Setelah kudekati, itu benar Rasti. Aku tersentak bahwa Rasti tidak berjalan
sendirian, tetapi bersama seorang lelaki seumuran denganku. Terlihat sekali kedekatannya
dari cara ia menatap Rasti. Ingin rasanya aku mendekatinya, namun kuurungkan
niatku agar aku tidak emosional. Setelah lelaki itu beranjak pergi, aku berlari
mendekat kepada Rasti. “Rasti....” sapaku begitu berada di hadapannya. Rasti
terlihat gugup, bahkan ia tak menjawab sapaannku. Aku menariknya menjauhi
keramaian. Ia hanya menurut tanpa mengelak. Aku menatapnya tajam pertanda
menginginkan penjelasan atas apa yang baru saja kulihat. Tidak seperti dugaan, dia lantas memelukku
erat sambil menangis tersedu. Aku hanya diam tanpa kata, tidak mengerti apa
maksudnya. Setelah menangis, ia berdiri menghadapku dan berusaha mengatur
nafasnya. “aku menyesal, Lang. Ku kira aku bisa merasakan kenyamanan dan kasih
sayang yang sama sepertimu bersama orang lain. Tapi aku salah...” potongnya
dengan suara masih tersendat. Aku masih terdiam. “Namanya Indra, aku
mengenalnya waktu aku kuliah. Aku sangat kesepian tanpa ada kamu di dekatku. Dia
yang menemaniku setiap hari, sampai-sampai dia memiliki perasaan lebih terhadapku.
Aku tidak mengerti mengapa semua ini terjadi. Tapi, aku benar-benar menyesal.
Aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya, tetapi aku tidak mengerti bagaimana
caranya. Maafkan aku tidak sempat memberimu kabar. Maafkan aku telah
meninggalkanmu. Aku menyayangimu, Gilang. Aku sangat merindukannmu...” lanjut
Rasti dengan air mata mengalir di pipinya. Aku terpaku mengdengar semua
penjelasan dari mulut Rasti. Sempat kecewa, namun aku sadar tak ada gunanya
karena semuanya sudah terjadi. Aku hanya terdiam tanpa bisa berkata-kata. Lalu
Rasti kembali memelukku. Aku memejamkan mataku dan mengatur nafasku yang naik
turun. Aku berusaha untuk tidak emosi. Aku pun tidak marah karena aku tau bahwa
Rasti tidak memiliki perasaan yang sama dengan Indra. “kau hanya perlu bersabar.
Segala sesuatu yang kau buat harus pula kau pertanggung jawabkan, Ras. Aku
mengerti keadaanmu. Aku akan menunggumu karena aku percaya kau membutuhkanku,
kau mencintaiku, dan aku kekasihmu” ucapku sambil menatap mata Rasti. “aku
kembali Lang.. aku akan kembali kepadamu.. aku akan bersabar seperti yang kamu
mau. Berjanjilah kepadaku. Aku mencintaimu, maafkan aku..” Rasti berkata dengan
raut wajah penuh penyesalan. Aku sangat senang sekaligus sedih. Aku senang
karena Rasti telah kembali, namun aku sedih karena ada orang lain di hubungan
kami walaupun Rasti tidak memiliki perasaan yang sama dengan Indra dan ia
berjanji untuk kembali kepadaku. “Rasti, aku minta jangan kau sakiti hati orang
yang telah tulus menyayangimu, walaupun kau telah berbohong kepadaku, aku sudah
memaafkannya. Rahasiakan aku di dalam cintamu. Namun kau juga harus pertanggung
jawabkan perbuatanmu kepada Indra. Sabar ya, sayang...” ucapku sambil mengusap
air mata yang terus mengalir di pipi Rasti. “terima kasih banyak, Lang.”
( sebenernya ini cerita diambil dari kisah temen aku, tapi ngga semuanya hehe )