Rabu, 16 Oktober 2013

Dengan Atau Tanpamu (cerpen)


Pagi yang dingin mengiringiku berangkat ke kampus hari ini. Aku sengaja berangkat lebih pagi untuk melakukan rutinitas setiap pagiku. Terlihat sosok yang sering hadir dalam mimpi indahku berjalan di atas rumput yang masih penuh dengan embun. Tisya. Ya, nama itu sudah tak asing lagi kudengar. Gadis berambut hitam panjang dan mempunyai mata yang indah itu sudah lama mengisi hatiku. Senyumnya yang manis tak jarang orang merasa tertarik kepadanya. Awal kenal dengan Tisya karena aku satu fakultas dengannya. Dia gadis yang sederhana namun ia mampu menarik perhatianku sejak awal bertemu sampai sekarang.  “Hei, Alvin! Kemana saja kau? Aku sudah lama sekali menunggumu di tempat parkir ternyata kau sudah berada di sini duluan” teriak Dhani mengagetkan. “kau bisa tidak bicara lebih pelan lagi?! Aku bisa mendengarmu tanpa kau berteriak seperti itu” jawabku acuh. Sahabatku Dhani ini memang sedikit jail, dan mungkin saja dia tidak suka bila ada sahabatnya senang. Haha tidak seperti itu, dia sebenarnya baik, hanya saja caranya yang selalu membuat orang lain merasa risih. Dia justru tahu rutinitas setiap hari yang aku lakukan di mana aku berdiri di anak tangga yang mengahadap ke taman ini. Untuk apa lagi kalau bukan memperhatikan sosok Tisya dari kejauhan. Dhani sudah menyuruhku untuk langsung mendekatinya, tetapi aku takut jika Tisya akan menjauh karena tidak menyukaiku. Mungkin dengan cara seperti ini aku akan lebih nyaman karena selalu melihatnya dengan senyuman manis itu, walaupun bukan ia tujukan kepadaku.
Setelah melihat Tisya yang hilang di kerumunan teman-temannya, aku dan Dhani menyusuri anak tangga dan menuju ruang kelas yang berada di lantai 2. “Vin!” lagi-lagi suara Dhani mengagetkanku. “apa sih?” jawabku jutek. “kapan kau akan terus seperti ini? Kau tidak percaya pada dirimu sendiri kalau kau mampu melawan semua rasa gengsimu itu untuk berkenalan dengannya?” celoteh Dhani panjang lebar.  “aku sudah bilang, ada waktunya. Nanti.” Kataku meyakinkan. “tapi.....” belum sempat aku mendengarkan cerewet sahabatku itu aku langsung keluar kelas entah ingin kemana. Tiba-tiba “BRAKK!!” seorang mahasiswi tidak sengaja menabrakku di depan pintu masuk kelas. Ia berdiri mematung dengan rambut hitam panjang terurai dan wajah kaget secara spontan. Aku tersungkur di lantai dekat ia berdiri. Benar, wanita itu adalah Tisya. “maaf, aku tidak sengaja, kau tidak apa-apa? Sini ku bantu kau berdiri” ucapnya seraya khawatir. Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam bisa berbicara langsung dengan Tisya. Aku langsung berdiri di hadapannya lantas aku tak mengeluarkan sepatah kata untuk menjawabnya. Jantung ku mulai berdegup tak beraturan. Ku lihat wajah Tisya yang khawatir itu lalu terlontar kata dari mulutku “aku tidak apa-apa Sya, buktinya aku bisa berdiri sendiri kan?” kataku senyum sumringah. “kau tau namaku? Kau kenal denganku?” jawab Tisya gugup. Aku sunguh tidak sengaja menyebut namanya. Bagaimana aku tidak mengenalmu Tisya, bahkan diam-diam aku mencintaimu, kataku dalam hati. “tentu saja kenal, bukankah kau satu fakultas denganku? Aku mengenalmu karena kau selalu duduk di kursi paling depan, dan ku dengar teman-temanmu sering memanggilmu dengan nama ‘Tisya’?” jawabku asal. Bodoh sekali, mengapa aku selalu kelebihan berbicara seperti ini. “Waw, kau sungguh hebat bisa mengenalku haha kau sangat terkenal di kampus ini. Namamu ada di setiap sudut sekolah, karena prestasimu. Alvin Mahendra. Nah itu kan namamu?” ternyata dia juga mengenalku. “kemarin, waktu kau mendapat juara menulis dongeng dan karyamu dipublikasikan di seluruh nusantara bahkan ke luar negeri, aku ingin memberi Selamat kepadamu, tapi aku takut kau tidak mau kenal dengan gadis seperti ku”. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dia sudah berbicara panjang lebar di depanku. Tidak ku sangka, ternyata dia lebih asyik dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Ketika dia berbiacara seperti itu, matanya seakan-akan memancarkan  cahaya indah yang tak bisa aku hindari. “terima kasih” jawabku serta senyum kepadanya. Ia balik membalas senyum kepadaku. Degup jantungku makin tidak beraturan. Aku memalingkan wajah dan mendapati dirinya juga sama sepertiku. “emm kalau begitu aku masuk kelas dulu ya. Senang berkenalan denganmu” ucapnya memecah keheningan di antara kami. “senang juga berkenalan denganmu Tisya, lain kali kau harus lebih hati-hati kalau berjalan hehe” jawabku sembari bercanda. Ia tersenyum dan berjalan memasuki ruang kelas. Ingin rasanya aku lompat dan berteriak girang gara-gara hal yang baru saja terjadi. Bahkan belum sempat berkenalan pun rasanya kita telah lama mengenal tetapi canggung untuk memulai percakapan. Sepertinya dia juga ingin mengenalku tetapi sama sepertiku, takut jika orang yang ingin kita kenal itu tidak menyukai kita. Ah, pikiranku jadi kemana-mana sampai bisa berfikir yang tidak-tidak seperti ini. Mungkin aku terlalu berharap. Kini aku sadar bahwa kita tidak akan bisa mengenal kalau tidak ada yang memulainya. Dan aku bersyukur atas kejadian pagi ini hmm..
Bel masuk pun berbunyi, aku masuk ke dalam kelas sebelum dosen memergokiku sedang melamun di depan kelas. Aku melihat dia yang duduk di kursi depan sedang bersiap-siap untuk memulai pelajaran. Ia sempat menoleh dan tersenyum kepadaku. Jantugku lagi-lagi berdegup tak beraturan. Aku membalas senyumannya dan duduk di kursiku, agak belakang tetap sebaris dengan Tisya. Dosen dengan semangat masuk dan duduk di kursinya. Materi pun dimulai dan dosen itu sedang menjelaskan materi hari ini di depan kelas. Tisya yang duduk di depan sebaris denganku segera mengikat rambutnya, kebiasaanya ketika sedang belajar. Anak rambut yang berjatuhan membuatnya terkesan lebih manis. Aku menatap Tisya dari belakang ketika dosen sedang sibuk menerangkan materinya. Pikiranku kembali pada niatku untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Aku tahu jika aku menyatakannya pada hari-hari dekat ini, akan terlalu cepat dan seperti apa yang selalu aku takutkan. Aku takut ia tidak bisa membalas pernyataan perasaanku kepadanya dengan baik. Nyaliku sangat lemah untuk sebuah hal yang berhubungan dengan hati dan wanita yang aku cinta. Kali pertama aku merasakan indahnya jatuh hati pada sosok cantik Tisya yang jelita. Dan itu semua yang membuat hari-hariku lebih berwarna karena adanya rasa cinta kepada Tisya. Butuh waktu untuk Tisya mengenalku dulu, baru aku akan menyataka perasaanku kepadanya.
Hari demi hari, masih sama dengan rutinitas setiap pagiku yang memperhatikannya dari kejauhan di atas anak tangga yang menghadap taman kampus ini. Walaupun aku dan Tisya sudah saling mengenal, namun aku masih ada kesulitan untuk memulai sebuah percakapan dengannya, bahkan hanya menatap dan mendengar suaranya saja jantungku tengah berdegup dengan kencang. Hingga akhirnya aku beranikan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang setelah kelas selesai. “hai Tisya, hari ini ada janji tidak?” tanyaku pada Tisya saat kelas mulai kosong. Dhani yang menyadari sesuatu (kesempatan ku untuk memulai pendekatan dengan Tisya) segera keluar kelas dengan senyum jailnya sambil menepuk bahuku. Tisya menoleh dan langsung berkata “tidak Vin, ada apa?” “boleh aku mengantarmu pulang? Kebetulan kita searah hehe” tawarku agak cangung. “tentu saja boleh Alvin, tetapi apa aku tidak merepotkanmu?” tanya Tisya balik. “Tentu saja tidak Tisya” jawabku tersenyum meyakinkan. “yasudah, kalau begitu kau mau pulang kapan?” tanyaku lagi untuk membuatnya senyaman mungkin denganku. “terserah kau saja hehe” jawabnya dengan pipi merah semu yang disembunyikan. Aku sedikit tertawa untuk menyembunyikan rasa gugupku ketika berhadapan dengannya. Ya Tuhan apakah ini sebuah peluang ia membuka hatinya untukku.. aku dan Tisya lalu berjalan menyusuri koridor dan tepat sampai di tempat parkir, aku mengeluarkan motorku dan menepuk jok belakangku agar Tisya duduk di belakangku. Tisya yang menyadari itu segara naik dan tak lupa dengan senyum manisnya. Motorku melaju dan kupastikan dengan sangat hati-hati. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, kini terjadi begitu saja. Ada rasa tegang dan canggung di antar kami. Namun aku dan Tisya saling diam untuk menutupi perasaan tersebut. “ apa kau mau makan dulu?” tanyaku di tengah perjalanan memecah keheningan. “boleh, tapi jika kau bertanya aku mau makan apa, itu terserah kau hehehe” tebakan Tisya sangat tepat. “oke, aku akan mengajakmu makan di tempat kesukaanku dengan makanan favoritku, kau mau?” tanyaku sebelum aku membelokan setir motorku. “kan aku sudah bilang, terserah kau Alvin Mahendra” jawabnya. Tanpa pikir panjang aku langsung memarkirkan motorku di restoran sederhana dengan plang yang menunjukkan “sea food”. Tisya turun lalu mengawasi sekeliling. Sepertinya ia sudah tidak asing lagi di tempat ini. “kau pernah ke sini Sya?” tanyaku. “hey, sea food makanan kesukaanku, tentu saja aku pernah ke sini, Vin” jawabnya lantang sambil menepuk bahuku. “bagaimana bisa sama, aku suka sea food, kau pun sama haha benar-benar lucu” tawaku terpecah karena mendapati makanan favorit ku dan Tisya sama. Tisya ikut tertawa dan kami pun berjalan masuk. Aku mempersilahkan dia duduk dan langsung memesan makanan yang tidak lain adalah aneka sea food. “ngomong-ngomong kau juga sering ke sini?” tanyaku kemudian. “emm tidak juga, aku hanya sesekali ke sini, biasanya bersama keluargaku di akhir pekan. Kau sendiri?” jelasnya kemudian balik bertanya kepadaku. “aku sering ke sini jika ada kelas kosong, kalau tidak bersama teman-temanku, ya bersama ayahku. Karena di keluargaku hanya aku dan ayah yang suka makan sea food hehe” jelasku. Perbincangan-perbincangan kecil yang terasa spesial ini membuatku merasa semakin nyaman berada di sampingnya. Seorang pelayan memyiapkan hidangan lalu mempersilahkan aku dan Tisya makan. Keheningan itu hadir lagi ketika makan dimulai. Tisya yang dengan lahap makan sea foodnya, sedangkan aku asyik memperhatikannya diam-diam. Sesekali aku meneguk minumku agar tidak terlihat sedang memperhatikannya. Setelah makan selasai, sebelum pulang ada obrolan-obrolan kecil yang terasa menyenangkan. Waktu begitu singkat jika kami sedang berdua. Semuanya telah berubah, sekarang aku lebih merasa tidak asing lagi bila berada dekat dengan Tisya. Hanya saja rasa gugup dan jantung yang berdegup tak beraturan ini yang biasanya membuatku sedikit canggung jika menatap matanya, atau sekedar berhadapan dengannya.
Aku mengantarnya sampai tiba di depan rumahnya. “makasih banyak ya, Vin. Kau mau mampir ke rumah?” tanya Tisya setelah turun dari motorku. “ah lain kali saja, sama-sama Tisya” jawabku menyunggingkan senyum tulus untuknya. “kalau begitu aku pulang dulu ya, aku yang seharusnya berterimakasih padamu, bye!” kataku selanjutnya. Aku melambaikan tanganku dan menyalakan mesin motorku. Dan tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja di kepalaku. “Hei Tisya! Besok ku jemput ya! Daah...” tanpa menunggu jawabnya, aku langsung melaju dengan motorku. Ku lihat wajahnya dari kaca spion motorku menjadi merah merona. Huuh sungguh hari yang menyenangkan. Ingin sekali aku berteriak kegirangan karena hal ini. Hari ini dan seterusnya akan menjadi hari-hari yang penuh warna karena aku menjalaninya dengan Tisya. Di perjalanan, aku tersenyum tanpa henti. Aku tak peduli orang menganggapku sudah gila, karena aku memang sedang gila. Gila karena cintaku pada Tisya.
Matahari belum menampakkan sinarnya, tapi aku sudah bangun dan bersiap-siap untuk menjemput Tisya. Kini aku tidak lagi berdiri di anak tangga dan memperhatikan Tisya dari kejauhan. Ia berangkat bersamaku, berjalan di koridor bersamaku, dan masuk kelas bersamaku. Dhani yang ikut merasakan kesenangan ini terus saja mengjahiliku. Ia sangat mendukung dan terus memberi semangat kepadaku. Setiap pagi aku menjemput Tisya dan pulang bersamanya. Terkadang ketika pulang mampir ke Restoran Sea Food favoritku dengannya. Tidak ada lagi keganjalan di antara aku dan Tisya. Biasanya dia membantuku menyelesaikan dongeng yang sedang ku buat, mengerjakan tugas bersama, berbagi canda tawa, dan menghabiskan waktu bersama. Semua begitu indah bila sedang bersamanya. Hingga tiba waktunya, aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku ingin semua hal yang selama ini aku lakukan dengannya tidak membuatnya merasa aku tidak menyayanginya. Mungkin sudah cukup aku menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku kepadanya. “Tisya sore ini kau tidak ada janji kan?” tanyaku pada Tisya. “seperti yang kau lihat, aku hanya punya janji bersamamu, pulang bersama maksudmu?” tanya Tisya balik. “ah bukan, maksudku aku ingin mengajakmu sore ini ke taman, kau mau?” tawarku. “emm boleh juga, sudah lama aku tidak ke taman, jam berapa?” “jam berapa saja, tapi kita tidak bersama ke tamannya, aku ada perlu sebentar, tidak apa-apa?” tanyaku memastikan. “tentu saja tidak apa-apa, Vin.” “kalau begitu sampai ketemu nanti sore ya Tisya.” kataku sebelum pergi meninggalkannya di dalam kelas. Senyumannya selalu membuatku merasa tenang. Dia benar-benar gadis yang baik. Aku berlalu dan menuju ke toko bunga tidak jauh dari kampusku lalu mempersiapkan semua.
Aku mungkin bukan penyair pintar yang pandai merangkai kata kiasan yang indah. Aku mungkin bukan perayu gombal yang mudah menakhlukam kaum wanita dengan senapan rayunya sampai bisa membuatnya jatuh cinta. Aku tak memiliki senyuman maut yang bisa membuat gadis memohon-mohon untuk membalas cintanya. Inilah aku dengan sejuta kekuranganku. Selama ini hanya Tisya gadis yang aku kagumi. Hanya dia yang bisa merubah hari-hariku lebih berwarna. Hanya dengannya aku bisa merasakan jatuh hati. Aku akan mengungkapkan perasaan ini, bahwa aku menyayanginya. Bahwa aku mencintanya. Bukan sebagai teman atau sehabat, tetapi kekasih yang mengisi relung hati. Dengan bunga mawar merah yang aku genggam, aku beranikan diri dan berusaha mengendalikan diriku yang samakin gugup ketika berhadapan dengannya. Aku tidak takut jika dia menolak perasaanku. Aku juga tidak ingin membuatnya risih dengan tingkahku yang berlebihan seperti ini. Aku sungguh menyayanginya. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan ini, entah apa yang akan terjadi nanti aku akan terima.
Terlihat sosok Tisya tengah menunggu di kursi taman seorang diri. “Tisya, maaf membuatmu menunggu” kataku setelah tiba dihadapannya. “ah tidak apa, Vin. Aku juga baru saja sampai ko” kata Tisya. “emm Tisya...” kataku lirih kemudian duduk di sampingnya. Ia menatapku dengan raut wajah bingung. “ya? Ada apa Vin?” tanya Tisya. Jantungku lagi-lagi berdegup kencang. Aku berusaha menguasai diriku dengan menarik nafas dalam-dalam. Aku beranikan diriku menatap mata indahya. Menatap hatinya. “aku merasakan ini sudah lama, bahkan sebelum kita berkenalan waktu kau menabrakku di depan pintu kelas....” sebelum melanjutkan ucapanku, aku meyakinkan diriku bahwa ia tidak sedang berfikiran negatif denganku, aku pun masih menatap matanya dalam-dalam. “....setiap pagi aku selalu berdiri di atas anak tangga depan taman untuk memperhatikanmu dari kejauhan. Apakah kau tau itu? Aku rasa tidak. Tisya....?” panggilku kepadanya. “ya?” jawabnya lembut dengan senyuman khasnya. “aku mencintaimu” akhirnya sebuah pernyataan cinta yang telah lama ku pendam bisa keluar dari mulutku saat ini. Aku menyerahkan bunga mawar merah yang ku genggam kepadanya. Ia menerima bunga dariku, lalu kembali menatapku. “Alvin...” panggilnya pelan kepadaku. Kemudian ia kembali menatap bunga di tangannya. “a..aku....” Tisya terlihat gugup. Aku yang menyadari itu langsung membuka mulut. “Kau tak perlu menjawabnya Tisya” “aku mau menjawabnya Vin, tapi aku mu menjawabnya besok, boleh?” jawab Tisya mantap. Ada sesuatu yang membuatku bertanya, mengapa harus besok? Tapi tidak apa, jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, sekarang atau selamanya ia mampu memberi jawaban, aku akan menerimanya. Aku tulus menyayangi dan mencintainya, hanya orang lain yang bisa menilai itu semua. “Tisya, aku tidak ingin ada yang berubah di antara kita setelah aku menyatakan perasaanku sesungguhnya itu padamu. Aku hanya ingin mengutarakan itu dan jika kau membalasnya, aku rela kau ingin membalas apa pun” kataku meyakinkannya. Ia tersenyum kepadaku, senyuman yang sungguh manis. Aku membalas senyumnya walau hatiku sebenarnya masih ingin menggapainya, ingin tau bagaimana perasaannya padaku. Aku tidak sabar menungggu besok. “Vin, sudah mulai malam, kau mau mengantarku pulang kan? Hehe” guraunya membuat suasana menjadi tenang kembali. Aku tertawa karena sejak tadi aku merasa tegang berhadapan dengannya. Aku berdiri dan mengambil motorku tidak jauh dari tempat kami duduk. “tentu saja mau Tisya” jawabku sambil mengarahkan pandanganku pada jok belakang. Ia naik dan motorku melaju menuju rumahnya. Di perjalanan ia merangkulku dari belakang. Untuk pertama kalinya Tisya melakukan hal seperti itu kepadaku. Sekujur tubuhku terasa hangat ketika ia memelukku walaupun sekedar merangkul dari belakang. Jantungku  berdegup sangat kencang ketika ia merapatkan tangannya di pinggangku. Aku melihat senyumnya dari kaca spion yang menghadap kepadanya. Aku membiarkan ia merapatkan pelukannya. Aku sungguh bahagia.
Waktu begitu cepat dan tak terasa sudah sampai di depan rumah Tisya. ia tersenyum kepadaku. “Vin, terima kasih banyak yaa, untuk besok kau tidak perlu menjemputku, aku berangkat bersama ayahku karena besok ia akan keluar kota untuk bisnis kantornya, tidak apa-apa kan? Kau tidak usah khawatir soal jawabanku itu, besok aku akan menjawabnya, aku hanya butuh waktu saja hehe bolehkan? Satu lagi, hanya untuk besok saja ko, tidak lama, ya ya yaaa???” kalimat panjang lebar Tisya terkesan sangat lucu, aku hanya tertawa melihatnya. Kemudian ia membuat wajahnya cemberut. sungguh aku suka semua cara Tisya berbicara, berjalan, melihat, tersenyum, bahkan cemberutnya pun tidak membuatnya jelek, justru lucu. “Iya Tisyaaa, tidak apa. Aku akan menunggunya sampai besok. Aku juga tidak menjemputmu besok pagi, tapi janji aku akan mengantarkanmu pulang sorenya. Oke?” jawabku tetap tersenyum melihatnya.  “okey! Terimakasih sekali lagi ya, Vin” kata Tisya lagi-lagi diulang. Aku tidak mengerti berterimakasih untuk apa tapi aku tetap menganggukkan kepala tanpa mengurangi senyumku. “baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Sya” kataku selanjutnya. Ia hanya diam dan jauh dari apa yang aku bayangkan, dia memelukku. Aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan Tisya. Sejenak Tisya melepaskan pelukannya, ia tersenyum manis kepadaku. Aku hanya terpaku atas apa yang baru saja Tisya lakukan. “ya sudah, pulanglah. Hati-hati ya, Vin” kata Tisya lebih ceria. Aku hanya membalasnya dengan senyum keheranan. Hati kecilku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, namun kenyataan tak menjawabnya.
Begitu sampai di rumah, aku hanya memikirkan Tisya, Tisya, dan Tisya. entah mengapa malam ini aku ingin sekali mendengar suaranya, melihat senyumnya, tertawa karena muka cemberutnya, dan aku ingin sekali berada terus di sampingnya. Malam sudah larut, tapi aku belum juga mengantuk. Aku berjalan menuju arah jendela kamarku yang terpancar cahayanya dari cahaya bulan yang cerah. Aku melihat banyak bintang di atas sana. Aku duduk dan menyenderkan kepalaku di atas sofa yang sengaja aku hadapkan ke arah datangnya cahaya, jalannya angin malam yang sunyi menenangkan.
Aku melihat Tisya berjalan ke arahku, wajahnya ceria dengan senyum yang selalu ia sunggingkan. Jantungku berdegup tak beraturan lagi. Ia membawa sebuah kertas dalam genggamannya. Dalam sekejap ia kembali memelukku. Masih sama yang aku rasakan ketika sore itu. Hangat peluknya yang tak ingin sedetikpun aku melupakannya. Ia melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum padaku. Aku menatap kertas yang ia genggam yang kemudian ia serahkan kepadaku. Aku hanya diam dan dia berlalu begitu saja. “DEG!” aku terbangun dari tidurku, dan tanpa aku sadari semalaman aku tertidur di sofa depan jendela kamarku ini. Ternyata semua itu hanya mimpi, hmm mungkin karena semalaman aku terlalu memikirkan Tisya. Aku masih merasakan pelukan hangat Tisya yang digantikan oleh teriknya matahari yang menggantikan bulan dan malam yang sunyi. “maksud Tisya apa?” lirihku pelan. Aku mendapati jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 06.45, yang memaksaku untuk memulai aktifitas pagi ini. Hari yang aku tunggu ketika Tisya mambalas atas perasaanku untuknya. Sekejap aku melupakan mimpi itu dan bergegas untuk segera berangkat ke kampus.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, jantungku terus berdegup kencang. Entah apa yang akan Tisya ucapkan kepadaku, aku akan terus selalu menyayanginya. “Ciiiiiitttttt! Braaakkk!” terdengar suara tabrakan sebuah mobil dengan sebuah bis terjadi tidak jauh dari jalan yang aku lalui. Segerombol orang hiruk piruk mengerubungi mobil yang seketika hancur menabrak pinggiran bis dan kemudian terguling di tepi jalan. Mereka terlihat sibuk memeriksa yang ada di dalam mobil itu dengan seksama. Jantungku semakin tidak karuan dan hasrat untuk mendekati terjadinya kecelakaan itu semakin kuat. Aku menghentikan motorku dan memarkirkan sembarangan di dekat trotoar. Seketika itu aku menelusuri orang-orang yang berada di tempat terjadinya kecelakaan tersebut. Dan ketika sudah sampai tepat di depan mobil itu, aku melihat seorang gadis dengan seorang laki-laki setengah baya yang berlumuran darah di seluruh badannya. “TISYA!” teriak kencangku keluar begitu saja. Orang-orang yang berada di sekitarku terdengar bertanya-tanya dengan gelagat panik yang tak bisa disembunyikan. Namun aku tidak peduli. Sekuat tenaga aku berusaha membuka pintu mobil untuk mengeluarkan Tisya dan ayahnya yang terbaring tak perdaya di kursi depan bagian mobil itu. Aku memecahkan kaca dengan kepalan tanganku sekeras mungkin. Orang-orang segera membantuku dan akhirnya Tisya dan ayahnya berhasil dikeluarkan dari mobil tersebut. Air mataku pecah begitu saja sambil memeluk tubuh Tisya. nafasnya masih berhembus walaupun pelan. Suara sirine ambulan terdengar semakin mendekat. Tisya dan ayahnya segera dibawa ke rumah sakit. Aku ikut dalam mobil tersebut “Tisya! bangun! Kau sudah janji hari ini kau akan membalasnya! Tisya bangun!” suaraku serak memanggil Tisya yang terbaring di mobil ambulan tersebut. Aku masih terus menangis tanpa peduli orang-orang melihatku. Hatiku sungguh hancur melihat Tisya dan ayahya berlumuran darah seperti ini, perasaanku bercampur aduk tidak karuan. Aku merasakan nafas Tisya semakin melemah.
Setelah tiba di rumah sakit, Tisya dan ayahnya langsung dilarikan ke ruang UGD. Aku masih memanggil Tisya dalam suara lirihku yang sudah kehabisan tenaga. Emosi, sedih, panik, khawatir, semua bercampur jadi satu dalam diriku. Aku menunggu Tisya dalam kegelisahan di ruang tunggu. Tidak lama kemudian seorang perempuan setengah baya terlihat tergopoh-gopoh ingin masuk ke ruang UDG sambil menangis memohon kepada petugas untuk diizinkan masuk. Aku tau itu pasti ibu Tisya. aku segera mendekatinya dan berusaha menenangkannya walau diriku sendiri tidak tenang. “ibu Tisya, benar?” tanyaku pada ibi itu. “iya, Nak. Temennya Tisya ya?” tanya balik ibu itu masih dengan air mata yang terus mengalir. “iya bu, benar saya Alvin teman Tisya.” jawabku. Aku tertunduk dan ibu itu memegang pundakku. “Tisya baik-baik saja kan? Ayahnya juga baik-baik saja kan? Ah mengapa bisa terjadi seperti ini, pihak rumah sakit menelphon ibu, ibu sungguh tidak percaya hal ini bisa terjadi nak Alvin” gerutu ibu itu sambil menggoncangkan bahuku lalu duduk dan menutup matanya yang sedang menangis. Aku ikut duduk di sebelahnya dan menatap ibu Tisya. “ibu tidak usah khawatir, mereka pasti baik-baik saja, Tuhan melindungi mereka bu” kataku berusaha menenangkan. Pintu ruang UGD terbuka oleh seorang dokter dengan masker wajah dan sarung tangan bercak darah. Aku dan ibu Tisya langsung berdiri dan menghampiri dokter tersebut. “bagaimana, dok?” tanya ibu Tisya. aku hanya diam seksama mendengarkan penjelasan dari dokter. “saya harap ibu bisa sabar dan melapangkan dada ibu, untuk bapak Panji suami ibu, masih bisa diselamatkan tetapi saya butuh donor darah dan sekarang pihak rumah sakit sedang mengatasi kondisi pasien. Tetapi maaf sebelumnya, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan purti ibu, namun tidak berhasil. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah dan kondisi fisiknya yang semakin lemah membuatnya tidak kuat harus menahan itu semua. Kami mohon maaf” raut wajah dokter kini berubah menjadi merasa bersalah. “Dokter pasti bohong kan?! Tisya pasti kuat, Dok! Tisya masih bisa diselamatkan!” teriakku di depan dokter. Tangis ibu itu semakin menjadi-jadi, dan akhirnya dokter hanya bisa memohon maaf dan berlalu pergi meninggalkan kami berdua dalam kesedihan yang mendalam. “nak Alvin, ibu tidak percaya, ibu masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan dokter” kata ibu itu sambil terus menangis dan menekuk wajahnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan hanya bisa diam dan mengutuk diriku sendiri. bagaimana mungkin Tisya pergi secepat ini, bahkan dia belum sempat berbicara padaku. Tuhan, kembalikan Tisya. ..
Aku sangat terpuruk atas meninggalnya Tisya. Dhani yang mengetahui kabar itu langsung mendekatiku dan memeluk erat tubuhku. Kini aku berada di dalam rumah duka bersama keluarga, tetangga, dan sahabat-sahabat Tisya. Air mataku berlinang begitu saja tanpa aku menyadarinya. Semua merasakan kehilangan, kehampaan karena tidak ada Tisya yang selalu tersenyum manis itu. Aku menatap jenazah Tisya yang tersenyum, aku mendekat dan menggenggam erat tangannya. Dingin. Ingin rasanya aku berteriak pada Tuhan untuk mengembalikan nyawa Tisya. ingin rasanya aku berlari untuk mencari nyawa pengganti Tisya. ingin rasanya aku menggantikan posisi Tisya dengan posisiku. Namun aku tau, aku hanya bisa berencana dan Tuhan-lah yang berkehendak atas apa yang dikehendakinya. Dalam hati kecilku, aku masih bertanya apakah Tisya merasakan perasaan yang sama denganku atau tidak. Aku ingin membangunkannya dan menanyakan hal itu kepadanya, tapi itu tidak mungkin. Aku tertunduk lemas dan lagi-lagi mataku berair. Dhani menepuk punggungku mencoba menenangkan. “aku menyayanginya, Dhan. Aku mencintainya. Kau tau itu kan?” aku menatap Dhani dalam-dalam dengan mataku yang berkaca-kaca. Dhani hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku, kemudian ia memelukku. Ibu Tisya menghampiriku, ia membawa secarik kertas yang ia genggam di tangannya. “nak Alvin, sepertinya ada sesuatu yang Tisya ingin sampaikan kepadamu, nak. Tapi ibu tahu, Tisya tidak mungkin bisa lagi berbicara langsung padamu. Ibu menemukan ini di meja kamarnya. Ibu lihat dia menulisnya tadi malam sebelum ia tertidur.” Ibu Tisya menyerahkan secarik kertas itu kepadaku. Ia masih menangis. Aku tahu seorang ibu pasti sangat kehilangan karena ditinggalkan oleh putri semata wayangnya. Aku menatap kertas bertulis itu lalu menerimanya.
To: Alvin Mahendra J
Hai Alvin, mungkin aku wanita pengecut yang tak bisa berbicara langsung tentang hal ini di hadapanmu. Kau tau? Sejak awal pertama kali aku tidak sengaja menabrakmu di depan pintu kelas dulu, aku sangat bahagia karena kejadian itu membuat kita semakin dekat. Dan apakah kau tau? Setiap pagi aku berangkat kuliah, sebelum aku berjalan di taman, aku lebih dulu melihatmu berdiri di anak tangga yang menghadap ke taman itu. Kau melihatku, tapi aku tidak berani balik melihatmu. Karena aku tidak yakin kau benar-benar sedang memperhatikanku. Aku sengaja melakukan itu karena aku ingin perkenalan kita berawal dari sesuatu yang indah. Dan aku bersyukur karena aku tidak sengaja menabrakmu waktu itu membuatku yakin kepadamu.
Pertama kali kamu mengajakku pulang bersama sore itu, jujur..aku sangat senang. Dan aku tidak menyangka kalau makanan kesukaan kita sama. Hehe lucu sekali bukan? Vin, waktu kau memintaku datang ke taman sore itu sebenarnya agak sedikit menebak kalau kau ingin mengungkapkan perasaanmu, tapi aku masih ragu. Takut salah tebak :p hehe
Alvin... aku mempunyai perasaan yang sama denganmu. Aku juga mencintaimu. Senang sekali bisa berkenalan denganmu, membantumu membuat dongeng-dongen lucu kesukaanmu, makan bersamamu, bercanda tawa denganmu, dan semua yang aku lakukan bersamamu. Semua yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu bersama. Terima kasih kau sudah menyayangiku. Aku sangat beruntung mendapati kau. Karena aku tau kau laki-laki yang tulus.
Sekali lagi aku ucapkan “aku mencintaimu, Alvin”

Tisya Sofia J
05 April 2013, 22:45
Aku membaca setiap detail tulisan tangan Tisya yang ku genggam. Sejenak aku memejamkan mataku untuk mengontrol diriku untuk menerima kenyataan pahit ini. Di satu sisi, aku sangat senang karena Tisya mempunyai perasaan yang sama denganku, namun di sisi lain aku harus mampu melihat kenyataan bahwa Tisya tidak lagi ada di dunia ini. Bahwa aku tidak bisa melihat senyum manisnya, tertawa akan wajah cemberutnya, dan menghabiskan waktu bersamanya. “dia sempat menceritakan semua tentangmu, nak Alvin. Ketika pagi dia mau berangkat kuliah bersaman ayahnya, ibu juga sempat bertanya mengapa kertas itu ditinggal di atas mejanya, dia bilang nanti dia akan mengungkapkannya langsung. Ibu sendiri tidak mengerti mengapa dia membuat tulisan itu kalau dia ingin mengungkapkan perasaannya langsung” jelas ibu Tisya masih dengan perasaan yang bercampur aduk. “semua telah direncanakan bu, Tisya lebih tau apa yang akan dia lakukan. Aku pun tidak bisa menyalahkan siapapun ketika Tuhan begitu cepat mengambilnya kembali.” Suaraku terdengar menggantung ketika aku berbicara seperti itu kepada ibu Tisya. aku memeluk ibu Tisya dan ia pun menangis di pundakku. Aki bisa merasakan apa yang ibu Tisya rasakan ketika harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita. Waktu akan terus berjalan, dan aku tetap bertahan dan maju untuk melanjutka masa depanku. Kenanganku bersama Tisya akan selalu terpatri di otak dan hatiku. Aku akan selalu membingkainya rapi dalam satu kotak hati yang selalu menyayanginya, baik ada maupun tidak ada dirinya di sisiku. Selamat jalan Tisya, semoga kau tenang di sisi-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar