Pagi yang dingin mengiringiku berangkat ke
kampus hari ini. Aku sengaja berangkat lebih pagi untuk melakukan rutinitas
setiap pagiku. Terlihat sosok yang sering hadir dalam mimpi indahku berjalan di
atas rumput yang masih penuh dengan embun. Tisya. Ya, nama itu sudah tak asing
lagi kudengar. Gadis berambut hitam panjang dan mempunyai mata yang indah itu
sudah lama mengisi hatiku. Senyumnya yang manis tak jarang orang merasa
tertarik kepadanya. Awal kenal dengan Tisya karena aku satu fakultas dengannya.
Dia gadis yang sederhana namun ia mampu menarik perhatianku sejak awal bertemu
sampai sekarang. “Hei, Alvin! Kemana
saja kau? Aku sudah lama sekali menunggumu di tempat parkir ternyata kau sudah
berada di sini duluan” teriak Dhani mengagetkan. “kau bisa tidak bicara lebih
pelan lagi?! Aku bisa mendengarmu tanpa kau berteriak seperti itu” jawabku
acuh. Sahabatku Dhani ini memang sedikit jail, dan mungkin saja dia tidak suka
bila ada sahabatnya senang. Haha tidak seperti itu, dia sebenarnya baik, hanya
saja caranya yang selalu membuat orang lain merasa risih. Dia justru tahu
rutinitas setiap hari yang aku lakukan di mana aku berdiri di anak tangga yang
mengahadap ke taman ini. Untuk apa lagi kalau bukan memperhatikan sosok Tisya
dari kejauhan. Dhani sudah menyuruhku untuk langsung mendekatinya, tetapi aku
takut jika Tisya akan menjauh karena tidak menyukaiku. Mungkin dengan cara
seperti ini aku akan lebih nyaman karena selalu melihatnya dengan senyuman
manis itu, walaupun bukan ia tujukan kepadaku.
Setelah melihat Tisya yang hilang di
kerumunan teman-temannya, aku dan Dhani menyusuri anak tangga dan menuju ruang
kelas yang berada di lantai 2. “Vin!” lagi-lagi suara Dhani mengagetkanku. “apa
sih?” jawabku jutek. “kapan kau akan terus seperti ini? Kau tidak percaya pada
dirimu sendiri kalau kau mampu melawan semua rasa gengsimu itu untuk berkenalan
dengannya?” celoteh Dhani panjang lebar.
“aku sudah bilang, ada waktunya. Nanti.” Kataku meyakinkan. “tapi.....”
belum sempat aku mendengarkan cerewet sahabatku itu aku langsung keluar kelas
entah ingin kemana. Tiba-tiba “BRAKK!!” seorang mahasiswi tidak sengaja
menabrakku di depan pintu masuk kelas. Ia berdiri mematung dengan rambut hitam
panjang terurai dan wajah kaget secara spontan. Aku tersungkur di lantai dekat
ia berdiri. Benar, wanita itu adalah Tisya. “maaf, aku tidak sengaja, kau tidak
apa-apa? Sini ku bantu kau berdiri” ucapnya seraya khawatir. Ya Tuhan, mimpi
apa aku semalam bisa berbicara langsung dengan Tisya. Aku langsung berdiri di
hadapannya lantas aku tak mengeluarkan sepatah kata untuk menjawabnya. Jantung
ku mulai berdegup tak beraturan. Ku lihat wajah Tisya yang khawatir itu lalu
terlontar kata dari mulutku “aku tidak apa-apa Sya, buktinya aku bisa berdiri
sendiri kan?” kataku senyum sumringah. “kau tau namaku? Kau kenal denganku?”
jawab Tisya gugup. Aku sunguh tidak sengaja menyebut namanya. Bagaimana aku tidak mengenalmu Tisya, bahkan
diam-diam aku mencintaimu, kataku dalam hati. “tentu saja kenal, bukankah
kau satu fakultas denganku? Aku mengenalmu karena kau selalu duduk di kursi
paling depan, dan ku dengar teman-temanmu sering memanggilmu dengan nama
‘Tisya’?” jawabku asal. Bodoh sekali, mengapa aku selalu kelebihan berbicara
seperti ini. “Waw, kau sungguh hebat bisa mengenalku haha kau sangat terkenal
di kampus ini. Namamu ada di setiap sudut sekolah, karena prestasimu. Alvin
Mahendra. Nah itu kan namamu?” ternyata dia juga mengenalku. “kemarin, waktu
kau mendapat juara menulis dongeng dan karyamu dipublikasikan di seluruh
nusantara bahkan ke luar negeri, aku ingin memberi Selamat kepadamu, tapi aku
takut kau tidak mau kenal dengan gadis seperti ku”. Belum sempat aku menjawab
pertanyaannya, dia sudah berbicara panjang lebar di depanku. Tidak ku sangka,
ternyata dia lebih asyik dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Ketika dia
berbiacara seperti itu, matanya seakan-akan memancarkan cahaya indah yang tak bisa aku hindari.
“terima kasih” jawabku serta senyum kepadanya. Ia balik membalas senyum kepadaku.
Degup jantungku makin tidak beraturan. Aku memalingkan wajah dan mendapati
dirinya juga sama sepertiku. “emm kalau begitu aku masuk kelas dulu ya. Senang
berkenalan denganmu” ucapnya memecah keheningan di antara kami. “senang juga
berkenalan denganmu Tisya, lain kali kau harus lebih hati-hati kalau berjalan
hehe” jawabku sembari bercanda. Ia tersenyum dan berjalan memasuki ruang kelas.
Ingin rasanya aku lompat dan berteriak girang gara-gara hal yang baru saja
terjadi. Bahkan belum sempat berkenalan pun rasanya kita telah lama mengenal tetapi
canggung untuk memulai percakapan. Sepertinya dia juga ingin mengenalku tetapi
sama sepertiku, takut jika orang yang ingin kita kenal itu tidak menyukai kita.
Ah, pikiranku jadi kemana-mana sampai bisa berfikir yang tidak-tidak seperti
ini. Mungkin aku terlalu berharap. Kini aku sadar bahwa kita tidak akan bisa
mengenal kalau tidak ada yang memulainya. Dan aku bersyukur atas kejadian pagi
ini hmm..
Bel masuk pun berbunyi, aku masuk ke dalam
kelas sebelum dosen memergokiku sedang melamun di depan kelas. Aku melihat dia
yang duduk di kursi depan sedang bersiap-siap untuk memulai pelajaran. Ia
sempat menoleh dan tersenyum kepadaku. Jantugku lagi-lagi berdegup tak
beraturan. Aku membalas senyumannya dan duduk di kursiku, agak belakang tetap
sebaris dengan Tisya. Dosen dengan semangat masuk dan duduk di kursinya. Materi
pun dimulai dan dosen itu sedang menjelaskan materi hari ini di depan kelas. Tisya
yang duduk di depan sebaris denganku segera mengikat rambutnya, kebiasaanya
ketika sedang belajar. Anak rambut yang berjatuhan membuatnya terkesan lebih
manis. Aku menatap Tisya dari belakang ketika dosen sedang sibuk menerangkan
materinya. Pikiranku kembali pada niatku untuk menyatakan perasaanku kepadanya.
Aku tahu jika aku menyatakannya pada hari-hari dekat ini, akan terlalu cepat
dan seperti apa yang selalu aku takutkan. Aku takut ia tidak bisa membalas
pernyataan perasaanku kepadanya dengan baik. Nyaliku sangat lemah untuk sebuah
hal yang berhubungan dengan hati dan wanita yang aku cinta. Kali pertama aku merasakan
indahnya jatuh hati pada sosok cantik Tisya yang jelita. Dan itu semua yang
membuat hari-hariku lebih berwarna karena adanya rasa cinta kepada Tisya. Butuh
waktu untuk Tisya mengenalku dulu, baru aku akan menyataka perasaanku
kepadanya.
Hari demi hari, masih sama dengan rutinitas
setiap pagiku yang memperhatikannya dari kejauhan di atas anak tangga yang
menghadap taman kampus ini. Walaupun aku dan Tisya sudah saling mengenal, namun
aku masih ada kesulitan untuk memulai sebuah percakapan dengannya, bahkan hanya
menatap dan mendengar suaranya saja jantungku tengah berdegup dengan kencang.
Hingga akhirnya aku beranikan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang setelah
kelas selesai. “hai Tisya, hari ini ada janji tidak?” tanyaku pada Tisya saat
kelas mulai kosong. Dhani yang menyadari sesuatu (kesempatan ku untuk memulai
pendekatan dengan Tisya) segera keluar kelas dengan senyum jailnya sambil
menepuk bahuku. Tisya menoleh dan langsung berkata “tidak Vin, ada apa?” “boleh
aku mengantarmu pulang? Kebetulan kita searah hehe” tawarku agak cangung. “tentu
saja boleh Alvin, tetapi apa aku tidak merepotkanmu?” tanya Tisya balik. “Tentu
saja tidak Tisya” jawabku tersenyum meyakinkan. “yasudah, kalau begitu kau mau
pulang kapan?” tanyaku lagi untuk membuatnya senyaman mungkin denganku.
“terserah kau saja hehe” jawabnya dengan pipi merah semu yang disembunyikan.
Aku sedikit tertawa untuk menyembunyikan rasa gugupku ketika berhadapan
dengannya. Ya Tuhan apakah ini sebuah peluang ia membuka hatinya untukku.. aku
dan Tisya lalu berjalan menyusuri koridor dan tepat sampai di tempat parkir,
aku mengeluarkan motorku dan menepuk jok belakangku agar Tisya duduk di
belakangku. Tisya yang menyadari itu segara naik dan tak lupa dengan senyum
manisnya. Motorku melaju dan kupastikan dengan sangat hati-hati. Hal yang tak
pernah kubayangkan sebelumnya, kini terjadi begitu saja. Ada rasa tegang dan canggung
di antar kami. Namun aku dan Tisya saling diam untuk menutupi perasaan
tersebut. “ apa kau mau makan dulu?” tanyaku di tengah perjalanan memecah
keheningan. “boleh, tapi jika kau bertanya aku mau makan apa, itu terserah kau
hehehe” tebakan Tisya sangat tepat. “oke, aku akan mengajakmu makan di tempat
kesukaanku dengan makanan favoritku, kau mau?” tanyaku sebelum aku membelokan
setir motorku. “kan aku sudah bilang, terserah kau Alvin Mahendra” jawabnya.
Tanpa pikir panjang aku langsung memarkirkan motorku di restoran sederhana
dengan plang yang menunjukkan “sea food”. Tisya turun lalu mengawasi
sekeliling. Sepertinya ia sudah tidak asing lagi di tempat ini. “kau pernah ke
sini Sya?” tanyaku. “hey, sea food makanan kesukaanku, tentu saja aku pernah ke
sini, Vin” jawabnya lantang sambil menepuk bahuku. “bagaimana bisa sama, aku
suka sea food, kau pun sama haha benar-benar lucu” tawaku terpecah karena
mendapati makanan favorit ku dan Tisya sama. Tisya ikut tertawa dan kami pun
berjalan masuk. Aku mempersilahkan dia duduk dan langsung memesan makanan yang
tidak lain adalah aneka sea food. “ngomong-ngomong kau juga sering ke sini?”
tanyaku kemudian. “emm tidak juga, aku hanya sesekali ke sini, biasanya bersama
keluargaku di akhir pekan. Kau sendiri?” jelasnya kemudian balik bertanya
kepadaku. “aku sering ke sini jika ada kelas kosong, kalau tidak bersama
teman-temanku, ya bersama ayahku. Karena di keluargaku hanya aku dan ayah yang
suka makan sea food hehe” jelasku. Perbincangan-perbincangan kecil yang terasa
spesial ini membuatku merasa semakin nyaman berada di sampingnya. Seorang
pelayan memyiapkan hidangan lalu mempersilahkan aku dan Tisya makan. Keheningan
itu hadir lagi ketika makan dimulai. Tisya yang dengan lahap makan sea foodnya,
sedangkan aku asyik memperhatikannya diam-diam. Sesekali aku meneguk minumku
agar tidak terlihat sedang memperhatikannya. Setelah makan selasai, sebelum pulang
ada obrolan-obrolan kecil yang terasa menyenangkan. Waktu begitu singkat jika
kami sedang berdua. Semuanya telah berubah, sekarang aku lebih merasa tidak
asing lagi bila berada dekat dengan Tisya. Hanya saja rasa gugup dan jantung
yang berdegup tak beraturan ini yang biasanya membuatku sedikit canggung jika
menatap matanya, atau sekedar berhadapan dengannya.
Aku mengantarnya sampai tiba di depan
rumahnya. “makasih banyak ya, Vin. Kau mau mampir ke rumah?” tanya Tisya
setelah turun dari motorku. “ah lain kali saja, sama-sama Tisya” jawabku
menyunggingkan senyum tulus untuknya. “kalau begitu aku pulang dulu ya, aku
yang seharusnya berterimakasih padamu, bye!” kataku selanjutnya. Aku
melambaikan tanganku dan menyalakan mesin motorku. Dan tiba-tiba sebuah ide
muncul begitu saja di kepalaku. “Hei Tisya! Besok ku jemput ya! Daah...” tanpa
menunggu jawabnya, aku langsung melaju dengan motorku. Ku lihat wajahnya dari
kaca spion motorku menjadi merah merona. Huuh sungguh hari yang menyenangkan.
Ingin sekali aku berteriak kegirangan karena hal ini. Hari ini dan seterusnya
akan menjadi hari-hari yang penuh warna karena aku menjalaninya dengan Tisya.
Di perjalanan, aku tersenyum tanpa henti. Aku tak peduli orang menganggapku
sudah gila, karena aku memang sedang gila. Gila karena cintaku pada Tisya.
Matahari belum menampakkan sinarnya, tapi
aku sudah bangun dan bersiap-siap untuk menjemput Tisya. Kini aku tidak lagi
berdiri di anak tangga dan memperhatikan Tisya dari kejauhan. Ia berangkat
bersamaku, berjalan di koridor bersamaku, dan masuk kelas bersamaku. Dhani yang
ikut merasakan kesenangan ini terus saja mengjahiliku. Ia sangat mendukung dan
terus memberi semangat kepadaku. Setiap pagi aku menjemput Tisya dan pulang
bersamanya. Terkadang ketika pulang mampir ke Restoran Sea Food favoritku
dengannya. Tidak ada lagi keganjalan di antara aku dan Tisya. Biasanya dia
membantuku menyelesaikan dongeng yang sedang ku buat, mengerjakan tugas
bersama, berbagi canda tawa, dan menghabiskan waktu bersama. Semua begitu indah
bila sedang bersamanya. Hingga tiba waktunya, aku ingin mengungkapkan
perasaanku kepadanya. Aku ingin semua hal yang selama ini aku lakukan dengannya
tidak membuatnya merasa aku tidak menyayanginya. Mungkin sudah cukup aku
menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku kepadanya. “Tisya sore
ini kau tidak ada janji kan?” tanyaku pada Tisya. “seperti yang kau lihat, aku
hanya punya janji bersamamu, pulang bersama maksudmu?” tanya Tisya balik. “ah
bukan, maksudku aku ingin mengajakmu sore ini ke taman, kau mau?” tawarku. “emm
boleh juga, sudah lama aku tidak ke taman, jam berapa?” “jam berapa saja, tapi
kita tidak bersama ke tamannya, aku ada perlu sebentar, tidak apa-apa?” tanyaku
memastikan. “tentu saja tidak apa-apa, Vin.” “kalau begitu sampai ketemu nanti
sore ya Tisya.” kataku sebelum pergi meninggalkannya di dalam kelas.
Senyumannya selalu membuatku merasa tenang. Dia benar-benar gadis yang baik.
Aku berlalu dan menuju ke toko bunga tidak jauh dari kampusku lalu
mempersiapkan semua.
Aku mungkin bukan penyair pintar yang
pandai merangkai kata kiasan yang indah. Aku mungkin bukan perayu gombal yang
mudah menakhlukam kaum wanita dengan senapan rayunya sampai bisa membuatnya
jatuh cinta. Aku tak memiliki senyuman maut yang bisa membuat gadis
memohon-mohon untuk membalas cintanya. Inilah aku dengan sejuta kekuranganku.
Selama ini hanya Tisya gadis yang aku kagumi. Hanya dia yang bisa merubah
hari-hariku lebih berwarna. Hanya dengannya aku bisa merasakan jatuh hati. Aku
akan mengungkapkan perasaan ini, bahwa aku menyayanginya. Bahwa aku
mencintanya. Bukan sebagai teman atau sehabat, tetapi kekasih yang mengisi
relung hati. Dengan bunga mawar merah yang aku genggam, aku beranikan diri dan
berusaha mengendalikan diriku yang samakin gugup ketika berhadapan dengannya.
Aku tidak takut jika dia menolak perasaanku. Aku juga tidak ingin membuatnya
risih dengan tingkahku yang berlebihan seperti ini. Aku sungguh menyayanginya.
Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan ini, entah apa yang akan terjadi nanti
aku akan terima.
Terlihat sosok Tisya tengah menunggu di
kursi taman seorang diri. “Tisya, maaf membuatmu menunggu” kataku setelah tiba
dihadapannya. “ah tidak apa, Vin. Aku juga baru saja sampai ko” kata Tisya.
“emm Tisya...” kataku lirih kemudian duduk di sampingnya. Ia menatapku dengan
raut wajah bingung. “ya? Ada apa Vin?” tanya Tisya. Jantungku lagi-lagi
berdegup kencang. Aku berusaha menguasai diriku dengan menarik nafas
dalam-dalam. Aku beranikan diriku menatap mata indahya. Menatap hatinya. “aku
merasakan ini sudah lama, bahkan sebelum kita berkenalan waktu kau menabrakku
di depan pintu kelas....” sebelum melanjutkan ucapanku, aku meyakinkan diriku
bahwa ia tidak sedang berfikiran negatif denganku, aku pun masih menatap
matanya dalam-dalam. “....setiap pagi aku selalu berdiri di atas anak tangga
depan taman untuk memperhatikanmu dari kejauhan. Apakah kau tau itu? Aku rasa
tidak. Tisya....?” panggilku kepadanya. “ya?” jawabnya lembut dengan senyuman
khasnya. “aku mencintaimu” akhirnya sebuah pernyataan cinta yang telah lama ku
pendam bisa keluar dari mulutku saat ini. Aku menyerahkan bunga mawar merah
yang ku genggam kepadanya. Ia menerima bunga dariku, lalu kembali menatapku.
“Alvin...” panggilnya pelan kepadaku. Kemudian ia kembali menatap bunga di
tangannya. “a..aku....” Tisya terlihat gugup. Aku yang menyadari itu langsung
membuka mulut. “Kau tak perlu menjawabnya Tisya” “aku mau menjawabnya Vin, tapi
aku mu menjawabnya besok, boleh?” jawab Tisya mantap. Ada sesuatu yang
membuatku bertanya, mengapa harus besok? Tapi tidak apa, jawaban ‘ya’ atau
‘tidak’, sekarang atau selamanya ia mampu memberi jawaban, aku akan
menerimanya. Aku tulus menyayangi dan mencintainya, hanya orang lain yang bisa
menilai itu semua. “Tisya, aku tidak ingin ada yang berubah di antara kita
setelah aku menyatakan perasaanku sesungguhnya itu padamu. Aku hanya ingin
mengutarakan itu dan jika kau membalasnya, aku rela kau ingin membalas apa pun”
kataku meyakinkannya. Ia tersenyum kepadaku, senyuman yang sungguh manis. Aku
membalas senyumnya walau hatiku sebenarnya masih ingin menggapainya, ingin tau
bagaimana perasaannya padaku. Aku tidak sabar menungggu besok. “Vin, sudah
mulai malam, kau mau mengantarku pulang kan? Hehe” guraunya membuat suasana
menjadi tenang kembali. Aku tertawa karena sejak tadi aku merasa tegang
berhadapan dengannya. Aku berdiri dan mengambil motorku tidak jauh dari tempat
kami duduk. “tentu saja mau Tisya” jawabku sambil mengarahkan pandanganku pada
jok belakang. Ia naik dan motorku melaju menuju rumahnya. Di perjalanan ia merangkulku
dari belakang. Untuk pertama kalinya Tisya melakukan hal seperti itu kepadaku.
Sekujur tubuhku terasa hangat ketika ia memelukku walaupun sekedar merangkul
dari belakang. Jantungku berdegup sangat
kencang ketika ia merapatkan tangannya di pinggangku. Aku melihat senyumnya
dari kaca spion yang menghadap kepadanya. Aku membiarkan ia merapatkan
pelukannya. Aku sungguh bahagia.
Waktu begitu cepat dan tak terasa sudah
sampai di depan rumah Tisya. ia tersenyum kepadaku. “Vin, terima kasih banyak
yaa, untuk besok kau tidak perlu menjemputku, aku berangkat bersama ayahku
karena besok ia akan keluar kota untuk bisnis kantornya, tidak apa-apa kan? Kau
tidak usah khawatir soal jawabanku itu, besok aku akan menjawabnya, aku hanya
butuh waktu saja hehe bolehkan? Satu lagi, hanya untuk besok saja ko, tidak
lama, ya ya yaaa???” kalimat panjang lebar Tisya terkesan sangat lucu, aku
hanya tertawa melihatnya. Kemudian ia membuat wajahnya cemberut. sungguh aku
suka semua cara Tisya berbicara, berjalan, melihat, tersenyum, bahkan
cemberutnya pun tidak membuatnya jelek, justru lucu. “Iya Tisyaaa, tidak apa.
Aku akan menunggunya sampai besok. Aku juga tidak menjemputmu besok pagi, tapi
janji aku akan mengantarkanmu pulang sorenya. Oke?” jawabku tetap tersenyum
melihatnya. “okey! Terimakasih sekali
lagi ya, Vin” kata Tisya lagi-lagi diulang. Aku tidak mengerti berterimakasih
untuk apa tapi aku tetap menganggukkan kepala tanpa mengurangi senyumku.
“baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Sya” kataku selanjutnya. Ia hanya diam
dan jauh dari apa yang aku bayangkan, dia memelukku. Aku sungguh tidak mengerti
apa yang sebenarnya terjadi dengan Tisya. Sejenak Tisya melepaskan pelukannya,
ia tersenyum manis kepadaku. Aku hanya terpaku atas apa yang baru saja Tisya
lakukan. “ya sudah, pulanglah. Hati-hati ya, Vin” kata Tisya lebih ceria. Aku
hanya membalasnya dengan senyum keheranan. Hati kecilku bertanya-tanya apa yang
sebenarnya terjadi, namun kenyataan tak menjawabnya.
Begitu sampai di rumah, aku hanya
memikirkan Tisya, Tisya, dan Tisya. entah mengapa malam ini aku ingin sekali
mendengar suaranya, melihat senyumnya, tertawa karena muka cemberutnya, dan aku
ingin sekali berada terus di sampingnya. Malam sudah larut, tapi aku belum juga
mengantuk. Aku berjalan menuju arah jendela kamarku yang terpancar cahayanya
dari cahaya bulan yang cerah. Aku melihat banyak bintang di atas sana. Aku
duduk dan menyenderkan kepalaku di atas sofa yang sengaja aku hadapkan ke arah
datangnya cahaya, jalannya angin malam yang sunyi menenangkan.
Aku
melihat Tisya berjalan ke arahku, wajahnya ceria dengan senyum yang selalu ia
sunggingkan. Jantungku berdegup tak beraturan lagi. Ia membawa sebuah kertas
dalam genggamannya. Dalam sekejap ia kembali memelukku. Masih sama yang aku
rasakan ketika sore itu. Hangat peluknya yang tak ingin sedetikpun aku
melupakannya. Ia melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum padaku. Aku
menatap kertas yang ia genggam yang kemudian ia serahkan kepadaku. Aku hanya
diam dan dia berlalu begitu saja. “DEG!”
aku terbangun dari tidurku, dan tanpa aku sadari semalaman aku tertidur di sofa
depan jendela kamarku ini. Ternyata semua itu hanya mimpi, hmm mungkin karena
semalaman aku terlalu memikirkan Tisya. Aku masih merasakan pelukan hangat
Tisya yang digantikan oleh teriknya matahari yang menggantikan bulan dan malam
yang sunyi. “maksud Tisya apa?” lirihku pelan. Aku mendapati jam dinding di
kamarku menunjukkan pukul 06.45, yang memaksaku untuk memulai aktifitas pagi
ini. Hari yang aku tunggu ketika Tisya mambalas atas perasaanku untuknya.
Sekejap aku melupakan mimpi itu dan bergegas untuk segera berangkat ke kampus.
Sepanjang perjalanan menuju kampus,
jantungku terus berdegup kencang. Entah apa yang akan Tisya ucapkan kepadaku,
aku akan terus selalu menyayanginya. “Ciiiiiitttttt! Braaakkk!” terdengar suara
tabrakan sebuah mobil dengan sebuah bis terjadi tidak jauh dari jalan yang aku
lalui. Segerombol orang hiruk piruk mengerubungi mobil yang seketika hancur
menabrak pinggiran bis dan kemudian terguling di tepi jalan. Mereka terlihat sibuk
memeriksa yang ada di dalam mobil itu dengan seksama. Jantungku semakin tidak
karuan dan hasrat untuk mendekati terjadinya kecelakaan itu semakin kuat. Aku
menghentikan motorku dan memarkirkan sembarangan di dekat trotoar. Seketika itu
aku menelusuri orang-orang yang berada di tempat terjadinya kecelakaan
tersebut. Dan ketika sudah sampai tepat di depan mobil itu, aku melihat seorang
gadis dengan seorang laki-laki setengah baya yang berlumuran darah di seluruh
badannya. “TISYA!” teriak kencangku keluar begitu saja. Orang-orang yang berada
di sekitarku terdengar bertanya-tanya dengan gelagat panik yang tak bisa
disembunyikan. Namun aku tidak peduli. Sekuat tenaga aku berusaha membuka pintu
mobil untuk mengeluarkan Tisya dan ayahnya yang terbaring tak perdaya di kursi
depan bagian mobil itu. Aku memecahkan kaca dengan kepalan tanganku sekeras
mungkin. Orang-orang segera membantuku dan akhirnya Tisya dan ayahnya berhasil
dikeluarkan dari mobil tersebut. Air mataku pecah begitu saja sambil memeluk
tubuh Tisya. nafasnya masih berhembus walaupun pelan. Suara sirine ambulan
terdengar semakin mendekat. Tisya dan ayahnya segera dibawa ke rumah sakit. Aku
ikut dalam mobil tersebut “Tisya! bangun! Kau sudah janji hari ini kau akan
membalasnya! Tisya bangun!” suaraku serak memanggil Tisya yang terbaring di
mobil ambulan tersebut. Aku masih terus menangis tanpa peduli orang-orang
melihatku. Hatiku sungguh hancur melihat Tisya dan ayahya berlumuran darah
seperti ini, perasaanku bercampur aduk tidak karuan. Aku merasakan nafas Tisya
semakin melemah.
Setelah tiba di rumah sakit, Tisya dan
ayahnya langsung dilarikan ke ruang UGD. Aku masih memanggil Tisya dalam suara
lirihku yang sudah kehabisan tenaga. Emosi, sedih, panik, khawatir, semua
bercampur jadi satu dalam diriku. Aku menunggu Tisya dalam kegelisahan di ruang
tunggu. Tidak lama kemudian seorang perempuan setengah baya terlihat
tergopoh-gopoh ingin masuk ke ruang UDG sambil menangis memohon kepada petugas
untuk diizinkan masuk. Aku tau itu pasti ibu Tisya. aku segera mendekatinya dan
berusaha menenangkannya walau diriku sendiri tidak tenang. “ibu Tisya, benar?”
tanyaku pada ibi itu. “iya, Nak. Temennya Tisya ya?” tanya balik ibu itu masih
dengan air mata yang terus mengalir. “iya bu, benar saya Alvin teman Tisya.”
jawabku. Aku tertunduk dan ibu itu memegang pundakku. “Tisya baik-baik saja
kan? Ayahnya juga baik-baik saja kan? Ah mengapa bisa terjadi seperti ini,
pihak rumah sakit menelphon ibu, ibu sungguh tidak percaya hal ini bisa terjadi
nak Alvin” gerutu ibu itu sambil menggoncangkan bahuku lalu duduk dan menutup
matanya yang sedang menangis. Aku ikut duduk di sebelahnya dan menatap ibu
Tisya. “ibu tidak usah khawatir, mereka pasti baik-baik saja, Tuhan melindungi
mereka bu” kataku berusaha menenangkan. Pintu ruang UGD terbuka oleh seorang
dokter dengan masker wajah dan sarung tangan bercak darah. Aku dan ibu Tisya
langsung berdiri dan menghampiri dokter tersebut. “bagaimana, dok?” tanya ibu
Tisya. aku hanya diam seksama mendengarkan penjelasan dari dokter. “saya harap
ibu bisa sabar dan melapangkan dada ibu, untuk bapak Panji suami ibu, masih
bisa diselamatkan tetapi saya butuh donor darah dan sekarang pihak rumah sakit sedang
mengatasi kondisi pasien. Tetapi maaf sebelumnya, kami sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk menyelamatkan purti ibu, namun tidak berhasil. Ia
terlalu banyak mengeluarkan darah dan kondisi fisiknya yang semakin lemah
membuatnya tidak kuat harus menahan itu semua. Kami mohon maaf” raut wajah
dokter kini berubah menjadi merasa bersalah. “Dokter pasti bohong kan?! Tisya
pasti kuat, Dok! Tisya masih bisa diselamatkan!” teriakku di depan dokter.
Tangis ibu itu semakin menjadi-jadi, dan akhirnya dokter hanya bisa memohon
maaf dan berlalu pergi meninggalkan kami berdua dalam kesedihan yang mendalam.
“nak Alvin, ibu tidak percaya, ibu masih tidak percaya dengan apa yang
diucapkan dokter” kata ibu itu sambil terus menangis dan menekuk wajahnya. Aku
hanya menggelengkan kepalaku dan hanya bisa diam dan mengutuk diriku sendiri.
bagaimana mungkin Tisya pergi secepat ini, bahkan dia belum sempat berbicara
padaku. Tuhan, kembalikan Tisya. ..
Aku sangat terpuruk atas meninggalnya
Tisya. Dhani yang mengetahui kabar itu langsung mendekatiku dan memeluk erat
tubuhku. Kini aku berada di dalam rumah duka bersama keluarga, tetangga, dan
sahabat-sahabat Tisya. Air mataku berlinang begitu saja tanpa aku menyadarinya.
Semua merasakan kehilangan, kehampaan karena tidak ada Tisya yang selalu
tersenyum manis itu. Aku menatap jenazah Tisya yang tersenyum, aku mendekat dan
menggenggam erat tangannya. Dingin. Ingin rasanya aku berteriak pada Tuhan
untuk mengembalikan nyawa Tisya. ingin rasanya aku berlari untuk mencari nyawa
pengganti Tisya. ingin rasanya aku menggantikan posisi Tisya dengan posisiku.
Namun aku tau, aku hanya bisa berencana dan Tuhan-lah yang berkehendak atas apa
yang dikehendakinya. Dalam hati kecilku, aku masih bertanya apakah Tisya
merasakan perasaan yang sama denganku atau tidak. Aku ingin membangunkannya dan
menanyakan hal itu kepadanya, tapi itu tidak mungkin. Aku tertunduk lemas dan
lagi-lagi mataku berair. Dhani menepuk punggungku mencoba menenangkan. “aku
menyayanginya, Dhan. Aku mencintainya. Kau tau itu kan?” aku menatap Dhani
dalam-dalam dengan mataku yang berkaca-kaca. Dhani hanya mengangguk dan tersenyum
kepadaku, kemudian ia memelukku. Ibu Tisya menghampiriku, ia membawa secarik
kertas yang ia genggam di tangannya. “nak Alvin, sepertinya ada sesuatu yang
Tisya ingin sampaikan kepadamu, nak. Tapi ibu tahu, Tisya tidak mungkin bisa
lagi berbicara langsung padamu. Ibu menemukan ini di meja kamarnya. Ibu lihat
dia menulisnya tadi malam sebelum ia tertidur.” Ibu Tisya menyerahkan secarik
kertas itu kepadaku. Ia masih menangis. Aku tahu seorang ibu pasti sangat
kehilangan karena ditinggalkan oleh putri semata wayangnya. Aku menatap kertas
bertulis itu lalu menerimanya.
To: Alvin Mahendra J
Hai
Alvin, mungkin aku wanita pengecut yang tak bisa berbicara langsung tentang hal
ini di hadapanmu. Kau tau? Sejak awal pertama kali aku tidak sengaja menabrakmu
di depan pintu kelas dulu, aku sangat bahagia karena kejadian itu membuat kita
semakin dekat. Dan apakah kau tau? Setiap pagi aku berangkat kuliah, sebelum
aku berjalan di taman, aku lebih dulu melihatmu berdiri di anak tangga yang
menghadap ke taman itu. Kau melihatku, tapi aku tidak berani balik melihatmu.
Karena aku tidak yakin kau benar-benar sedang memperhatikanku. Aku sengaja
melakukan itu karena aku ingin perkenalan kita berawal dari sesuatu yang indah.
Dan aku bersyukur karena aku tidak sengaja menabrakmu waktu itu membuatku
yakin kepadamu.
Pertama
kali kamu mengajakku pulang bersama sore itu, jujur..aku sangat senang. Dan aku
tidak menyangka kalau makanan kesukaan kita sama. Hehe lucu sekali bukan? Vin,
waktu kau memintaku datang ke taman sore itu sebenarnya agak sedikit menebak
kalau kau ingin mengungkapkan perasaanmu, tapi aku masih ragu. Takut salah
tebak :p hehe
Alvin...
aku mempunyai perasaan yang sama denganmu. Aku juga mencintaimu. Senang sekali
bisa berkenalan denganmu, membantumu membuat dongeng-dongen lucu kesukaanmu,
makan bersamamu, bercanda tawa denganmu, dan semua yang aku lakukan bersamamu.
Semua yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu bersama. Terima kasih kau
sudah menyayangiku. Aku sangat beruntung mendapati kau. Karena aku tau kau laki-laki
yang tulus.
Sekali
lagi aku ucapkan “aku mencintaimu, Alvin”
Tisya
Sofia J
05
April 2013, 22:45
Aku membaca setiap detail tulisan tangan Tisya yang ku genggam. Sejenak aku memejamkan mataku untuk mengontrol diriku untuk menerima kenyataan pahit ini. Di satu sisi, aku sangat senang karena Tisya mempunyai perasaan yang sama denganku, namun di sisi lain aku harus mampu melihat kenyataan bahwa Tisya tidak lagi ada di dunia ini. Bahwa aku tidak bisa melihat senyum manisnya, tertawa akan wajah cemberutnya, dan menghabiskan waktu bersamanya. “dia sempat menceritakan semua tentangmu, nak Alvin. Ketika pagi dia mau berangkat kuliah bersaman ayahnya, ibu juga sempat bertanya mengapa kertas itu ditinggal di atas mejanya, dia bilang nanti dia akan mengungkapkannya langsung. Ibu sendiri tidak mengerti mengapa dia membuat tulisan itu kalau dia ingin mengungkapkan perasaannya langsung” jelas ibu Tisya masih dengan perasaan yang bercampur aduk. “semua telah direncanakan bu, Tisya lebih tau apa yang akan dia lakukan. Aku pun tidak bisa menyalahkan siapapun ketika Tuhan begitu cepat mengambilnya kembali.” Suaraku terdengar menggantung ketika aku berbicara seperti itu kepada ibu Tisya. aku memeluk ibu Tisya dan ia pun menangis di pundakku. Aki bisa merasakan apa yang ibu Tisya rasakan ketika harus kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita. Waktu akan terus berjalan, dan aku tetap bertahan dan maju untuk melanjutka masa depanku. Kenanganku bersama Tisya akan selalu terpatri di otak dan hatiku. Aku akan selalu membingkainya rapi dalam satu kotak hati yang selalu menyayanginya, baik ada maupun tidak ada dirinya di sisiku. Selamat jalan Tisya, semoga kau tenang di sisi-Nya.